Minggu, 01 Juli 2012

SYARAT-SYARAT PENDIDIK YANG SUKSES DALAM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Oleh Ahmad Dito di Salaf on facebook

1. Hendaknya dia mahir dalam profesinya, menguasai metode-metode
pengajaran, mencintai tugas-tusas dan anak muridnya, mengerahkan
kemampuan dalam mendidik mereka dengan pendidikan yang baik, menambahkan
kepada mereka pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat, mengajari mereka
akhlaq-akhlaq yang mulia dan berusaha menjauhkan mereka dari
kebiasaan-kebiasaan yang jelek. Dialah pendidik sekaligus pengajar pada
satu waktu.

2. Hendaknya dia menjadi teladan yang baik
bagi selainnya, dalam bentuk ucapan, perbuatan dan gaya hidup dari sisi
pelaksanaan kewajibannya kepada Robb-nya, umatnya dan para pelajarnya.
Hendaknya guru mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai
kebaikan bagi dirinya dan anak-anaknya, memaafkan kesalahan mereka dan
berlapang dada serta andaipun menghukum mereka maka menghukum dengan
kasih sayang.

Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam
bersabda:

“Tidak (sempurna) iman salah seorang diantara kalian
sampai ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.”
(Muttafaqun ‘Alaih)


3. Diantara syarat menjadi guru yang
sukses adalah hendaknya ia mengerjakan apa-apa yang ia perintahkan
kepada murid-muridnya, baik berupa adab-adab, akhlaq-akhlaq, dan
ilmu-ilmu lainnya. Dan hendaknya menjauhi perbedaan antara ucapan dia
sendiri dengan perbuatannya, dan simaklah firman Alloh Ta’ala:

“Wahai
orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak
kalian kerjakan?! Sungguh amat besar kemurkaan di sisi Alloh atas mereka
yang mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan” (QS. Ash-Shof: 2-3)

Ini
adalah pengingkaran atas orang yang mengatakan suatu ucapan yang dia
tidak mengerjakannya.


Dan beliau sholallohu ‘alaihi
wasallam bersabda:

“Yaa Alloh... sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim)

Maksudnya:
yang aku tidak mengamalkannya, tidak aku sampaikan kepada selainku, dan
tidak pula memperbaiki akhlaqku.

Berkata penyair:

Wahai
orang yang mengajari selainnya

Tidaklah engkau menjadi pengajar
untuk dirimu sendiri


4.Wajib atas guru ia mengetahui bahwa
tugas yang ia emban sama dengan tugasnya para Nabi yang Alloh Ta’ala
mengutus mereka untuk memberi petunjuk kepada manusia dan mengajari
mereka serta mengenalkan mereka kepada Robb dan Pencipta mereka. Dan
seperti itulah dia (guru) berada dalam kedudukan sebagai ayah dalam
kasih sayangnya kepada murid-muridnya dan ia memberikan kecintaannya
kepada mereka, dan bahwasanya dia bertanggung jawab atas murid-murid
ini: atas kehadiran mereka, memberikan perhatian terhadap
pelajaran-pelajaran mereka, bahkan bagus seandainya guru membantu mereka
memecahkan permasalahan mereka dan selainnya yang termasuk tanggung
jawab pengajar. Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tiap-tiap
kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa-apa yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaih)


Dan
ketahuilah bahwasanya tanggung jawab di hadapan Alloh tentang
murid-muridnya yaitu apa yang ia ajarkan kepada mereka? Dan apakah ia
ikhlas dalam membahas metode yang mudah untuk membimbing serta
mengarahkan mereka ke arah yang selamat?

Rosululloh  sholallohu
‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Alloh akan beertanya
kepada setiap penggembala (pemimpin) tentang apa yang ia gembalakan.
Apakah dia mampu menjaganya atau menyia-nyiakannya? Sampai Alloh
bertanya kepada seseorang tentang keluarganya.” (HR. An-Nasa’i, dari
Anas, dengan sanad hasan)


Kemudian sesungguhnya wajib
atasnya berbicara dengan mereka berdasarkan kadar pemahaman mereka. Ali
rodhiyallohu ‘anhu berkata:

“Berbicalah kepada manusia dengan
apa-papa ketahui. Apakah kalian menyukai Alloh dan Rosul-Nya
didustakan?”(Diriwayatkan oleh al-Bukhory dalam al-Ilmu, Bab Orang yang
mengkhususkan sebagian orang dari orang lain dalam ilmu)


5.
Sesungguhnya guru berdasarkan pekerjaannya ini hidup diantara
murid-murid yang berbeda tingkat, baik dari segi akhlaq-akhlaq mereka,
pendidikan mereka dan tingkat kecerdasan mereka. Karena itu sesungguhnya
wajib atas guru itu ia menerima mereka semua dengan akhlaq-akhlaqnya.
Maka ia bagi murid-muridnya berkedudukan seperti ayah bersama
anak-anaknya sebagai pengamalan sabda sang pendidik yang besar Nabi kita
Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam:

“Hanyalah aku
(Nabi) bagi kalian menempati kedudukan sebagai ayah, aku mengajari
kalian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih.)


6. Wajib atas
guru yang sukses salaing tolong-menolong dengan rekan-rekannya,
menasehati rekan-rekannya, salaing bermusyawarah dengan mereka demi
kemaslahatan para murid. Hendaknya mereka menjadi panutan yang baik bagi
murid-muridnya. Dan atas mereka semua, hendaknya mencontoh Rosululloh
sholallohu ‘alaihi wasallam dimana Alloh Ta’ala menjelaskan kepada kaum
muslimin dengan firman-Nya:

“Sungguh telah ada pada diri
Rosululloh suri tauladan yang baik bagi kalian” (QS. Al-Ahzab: 21)


7.
Tawadhu’ dalam ilmu.

Mengakui kebenaran adalah
keutamaan. Kembali kepada kebenaran lebih baik daripada trerus-menerus
berada dalam kesalahan. Maka wajib atas guru mencontoh para salafush
sholih dalam mencari kebenaran dan ketundukannya terhadap kebenaran jika
telah jelas bagi mereka bahwa yang benar itu menyelisihi sesuatu yang
telah mereka fatwakan atau telah mereka yakini. Dalil atas perkara ini
adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab
beliau(Muqoddimah al-Jarh wat-Ta’dil) tatkala beliau menyebutkan kisah
Malik rohimahulloh dan  ruju’nya beliau dari fatwanya. Tatkala beliau
mendengar hadits , beliau sebutkan  dengan judul [Bab apa yang
disebutkan tentang ittiba’(pengikutan)nya Malik terhadap
atsar(bekas/peninggalan) Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan beliau
mencabut fatwanya tatkala disampaikan hadits dari Nabi sholallohu
‘alaihi wasallam yang menyelisihinya]. Ibnu Wahb berkata: “Saya
mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki saat
wudhu”. Maka Imam Malik menjawab: “Hal itu tidak wajib bagi manusia”.
Dia (Ibnu Wahb) berkata: “Maka saya biarkan beliau sampai sepi dari
manusia”. Lalu saya berkata kepada beliau: “Menurut kami pada perkara
tersebut(jari-jari kedua kaki saat wudhu) ada sunnah”. Maka beliau
bertanya: “Apa itu?”. Saya berkata: “Menceritakan kepada kami al-Laits
bin Sa’id dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin al-Harits dari Yazid bin ‘Umar
al-Mu’afiry dari Abu ‘Abdirrohman al-Habliy dari Mustaurid bin Syadad
al-Qurosyi, dia berkata: “Saya melihat Rosululloh sholallohu ‘alaihi
wasallam menggosok sela-sela jari kaki dengan kelingking beliau”. Maka
Imam Malik berkata: “Sesungguhnya hadits ini hasan. Saya tidak pernah
mendengar hadits itu kecuali baru saat ini”. Kemudian setelah kejadian
itu, saya (Ibnu Wahb) mendengar beliau jika ditanya (tentang
menyela-nyela jari-jari kedua kaki saat wudhu) maka beliau
memerintahakan agar menyela-nyelanya. (Lihat Muqoddimah al-Jarh wat
Ta’dil, halaman 30)


Seandainya kita mau memperluas
contoh-contoh dari kehidupan para salaf maka tidak akan cukup
lembaran-lembaran ini. Karena yang wajib bagi guru yang menginginkan
keesuksesan dalam profesinya adalah tunduk terhadap kebenaran dan
kembali darim kesalahannya jika ia tersalah. Dan mengajarkan akhlaq
mulia ini kepada para muridnya, menjelaskan kepada mereka tentang
keutamaan kembali kepada kebenaran, serta menerapkan hal itu sebagai
praktek di dalam kelas. Jika ia melihat bahwa jawaban sebagian muridnya
lebih utama daripada jawabannya, maka hendaknya ia mengumumkan hal itu
dan mengakui keunggulan jawaban murid ini, sehingga dengan hal itu akan
lebih mendapatkan kepercayaan para muridnya dan kecintaan mereka
kepadanya.


Dan sungguh saya hidup sekitar 40 tahun menjadi
seorang pengajar dan pendidik. Meski saya coba lupakan, tetapi saya
tidak bisa lupa terhadap pengajar yang salah dalam membaca seebuah
hadits, ketika sebagian pelajar membantahnya , ia tetap dalam
kesalahannya. Namun  ia malah mendebat dengan sesuatu yang bathil. Maka
jatuhlah pengajar ini dalam pandangan murid-muridnya dan tidak mendapat
kepercayaan mereka.


Dan saya selalu ingat sebagian
pengajar yang jujur yang mereka mengakui kesalahan-kesalahan mereka, dan
mereka kembali dari kesalahan tersebut. Dan sungguh para muridnya
mencintai mereka, dan bertambah kepercayaan para murid kepada mereka
sehingga mereka menjadi orang ysng dimuliakan dan dibesarkan.

Alangkah
bagusnya jika para guru menelusuri jejek mereka dan menempuh jalan
mereka yang kembali kepada kebenaran.


8. Jujur dalam
memenuhi janji.

Wajib atas guru ia senantiasa jujur dalam
ucapannya, karena sesungguhnya kejujuran itu seluruhnya adalah
kebaikan. Dan jangan mendidik para muridnya diatas kedustaan, walaupun
menurut pandangannya dalam kedustaan tersebut terdapat kebaikan.

Ada
kejadian bahwasanya satu diantara para muridnya bertanya  kepada
gurunya tentang pengingkaran terhadap salah seorang guru yang merokok.
Maka guru itu menjawabnya dan membela teman seprofesinya bahwa sebab dia
merokok adalah atas nasehat dokter kepadanya. Dan tatkala murid ini
keluar dari kelas, ia berkata: “Sesungguhnya guru telah membohongi
kita”.

Alangkah bagusnya jika ia guru itu jujur  dalam jawabannya,
menjelaskan kesalahan teman seprofesinya bahwasanya merokok adalah
harom, bahwasanya merokok berbahaya bagi jasad,  menyakiti (mengganggu)
tetangga (orang sekitarnya), menghabiskan harta.

Maka jika ia
melakukan hal itu, maka ia akan mendapatkan kepercayaan dan kecintaan
para pelajarnya. Dan ia mampu mengatakan kepada para pelajarnya:
“Sesungguhnya guru termasuk individu dari manusia yang memiliki
sifat-sifat kemanusiaan, maka ia kadang benar dan terkadang salah.
Inilah Nabi kita Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui hal itu
dalam haditsnya, beliau bersabda:

“Setiap keturunan anak Adam
pasti pernah berbuat salah. dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan
adalah yang bertaubat” (HR. Ahmad, shohih)


Dan sungguh
dimungkinkan guru yang ditanya tadi menjadikan pertanyaan muridnya
tentang seorang guru yang merokok sebagai bahan pelajaran bagi seluruh
muridnya sehingga dapat memahamkan mereka tentang bahaya merokok, hukum
syar’inya, fatwa-fatwa ulama tentang perkara tersebut dan dalil-dalil
mereka. Maka dengan itu semua akan menjadi berfaidahlah pertanyaan si
muridn diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran.

Rosululloh
sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan senantiasa seseorang
itu  jujur dan berusahs untuk selalu jujur sehinggga ditulis di sisi
Alloh sebagai orang yang jujur.” (HR. Muslim)

Kejujuran adalah
akhlaq yang mulia yang seharusnya seorang guru menanamkannya kepada para
muridnya. Menjadikan mereka cinta kepada kejujuran dan membiasakan
mereka dengannya, dan hendaknya guru mempraktekkan (kejujuran) dalam
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Bahkan sampai bercanda dengan
mereka pun seorang guru tetap harus jujur. Sungguh Rosul sholallohu
‘alaihi wasallam dulu bercanda  dan tidaklah beliau berucap kecuali
dengan kebenaran. Dan hendaknya seorang guru hati-hati berdusta kepada
muridnya walaupun hanya bercanda atau basa-basi. Dan  jika ia
menjanjikan sesuatu, maka wajib atasnya memenuhi janjinya sehingga
mereka belajar dari gurunya tentang kejujuran, dan harus memenuhi
(janji) baik ucapan maupun amalan karena para pelajar telah mengenal
kedustaan dan memahaminya walaupun mereka tidak mampu membantah gurunya
atau malu kepadanya. Dan sungguh kita telah melihat dalam kisah guru
yang  membela temannya yang perokok, bagaimana pelajar mengakui
kedustaannya.

9. Sabar.

Wajib atas guru
berhias dengan kesabaran atas kesulitan-kesulitan para pelajar dan
praktek pembelajaran. Karena kesabaran adalah penolong terbesar dalam
pekerjaannya yang mulia.



Yogyakarta, Sabtu, 4 Juni
2011

Abu ‘Abdil Hakim Ahmad Dito



RUJUKAN:
  1. Kitab
    Nidaa-un ilal Murobbiyiina wal Murobbiyyati, karya asy-Syaikh Muhammad
    bin Jamil Zainu rohmatulloh alaihi bai rohmatin wasi’atin, yang
    disampaikan oleh al-Ustadz Abu Ahmad dalam pelajaran rutin kami di
    Madrosah Syababussunnah Yogyakarta.
  2. Kamus al-Munawwir
  3. Buku
    Kiat Sukses Mendidik Anak, terbitan Pustaka Haura’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar