LUPA BELUM BAYAR UTANG PUASA BAGI WANITA NIFAS, QADHA PUASA ATAU BAYAR FIDYAH?
oleh : Nhawaada Chan di Salaf on Facebook
Dijawab oleh Ustadz Syahrul Fatwa
Tanya:
Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.
Saya mau bertanya, dulu saat istri melahirkan sebulan tidak puasa
(nifas), dan baru sekarang ini ingat dan ingin membayarnya, apakah bisa
kita mengqodho dengan memberi makan faqir miskin (fidyah). Terima kasih.
(Hendra)
Jawab:
Wa’alaikumsalamwarahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillah washshalatuwassalamu ‘alaa rasulillah.
Pertama: Hukum Puasa Wanita Yang Nifas
Wanita yang melahirkan disebut juga dengan wanita nifas. Karena nifas
secara bahasa maknanya adalah melahirkan. (Lisaanul ‘Arob 6/238, Ibnul
Manzhur, An-Nihayah 5/95, Ibnul Atsir).
Sedangkan secara
terminology syari’at nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena
sebab melahirkan. (Risalah Fid Dimaa at-Thobi’iyyah hal.51, Ibnu
Utsaimin).
Wanita yang sedang haidh dan nifas tidak boleh
puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunnah, dan para ulama telah
sepakat dalam masalah ini. (Lihat Marotib al-Ijma’ hal.40, Ibnu Hazm,
al-Ijma’ hal.43, Ibnul Mundzir, al-Mughni 4/397, Ibnu Qudamah)
Rasululloh shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah wanita jika sedang haidh dia tidak shalat dan tidak puasa?
Itulah bentuk kurang agamanya. (HR.Bukhari: 304, Muslim: 132)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Hukum wanita nifas sama
halnya dengan hukum wanita haidh dalam seluruh perkara yang diharamkan
dan kewajiban yang gugur bagi mereka, kami tidak mengetahui ada
perselisihan dalam masalah ini”. (Al-Mughni 1/350)
Kedua: Cara Wanita Yang Nifas Mengganti Puasa
Aisyah radhiyallahu ‘anhaa berkata: “Kami mengalami haidh pada zaman
Rasululloh, maka kami diperintah untuk mengqodho puasa dan tidak
diperintah untuk mengqodho shalat”. (HR.Bukhari: 321, Muslim: 335)
Dan cara wanita nifas mengganti puasa sama dengan cara wanita haidh,
dengan demikian, wanita yang nifas wajib mengganti puasa (qodho), dan
tidak boleh membayar hutang puasanya dengan memberi makan fakir miskin
(fidyah).
Akan tetapi, umumnya wanita yang melahirkan mereka
juga langsung menyusui anaknya. Dan wanita yang menyusui boleh tidak
puasa serta wajib mengganti puasanya dengan qodho atau membayar fidyah.
Sehingga dalam diri wanita yang melahirkan terkumpul dua keadaan;
Keadaan Pertama; keadaan nifas, ini disebut dengan keadaan yang menghalangi dan melarang (Janib al-Haazhir wal Mani’).
Keadaan Kedua; keadaan menyusui, ini disebut dengan keadaan yang membolehkan untuk berbuka puasa (janib al-mubiih).
Dan para ulama telah menjelaskan jika berkumpul antara keadaan yang
melarang dan keadaan yang membolehkan maka keadaan yang melarang itulah
yang dimenangkan. Kaidahnya dalam bahasa arab berbunyi; Idzajtama’a
Jaanib al-Haazhir wal Mubiih Ghulliba Jaanib al-Haazhir.
Maka wanita yang melahirkan wajib mengqodho puasanya, dan tidak boleh membayar dengan fidyah. Allohu A’lam.
Ketiga: Waktu Pelunasan Hutang Puasa
Dalam pertanyaan di atas ada yang masih kurang jelas, yaitu ucapan
saudara dulu saat istri melahirkan sebulan tidak puasa, waktu dulu
disini apakah satu tahun yang lalu, yaitu setahun sebelum bulan Ramadhan
tahun ini ataukah beberapa tahun yang lalu sebelum Ramadhan tahun ini?
Karena jika maksudnya waktu dulu yaitu setahun yang lalu maka anda
benar, boleh melunasi hutang puasa tahun lalu saat ini, karena wanita
haidh dan nifas mengganti puasa Ramadhan pada hari mana saja yang dia
mampu. Boleh mengakhirkannya selama belum datang bulan Ramadhan
berikutnya. Aisyah berkata: “Aku punya utang puasa Ramadhan dan aku
tidak mampu membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban”. (HR.Muslim: 1146)
Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Andaikan mengakhirkan membayar utang
puasa Ramadhan boleh lewat Ramadhan berikutnya tentulah akan dikerjakan
oleh Aisyah”. ( Al-Kaafii 1/359)
Akan tetapi jika maksud dari
waktu dulu disini adalah beberapa tahun yang lalu, maka hukum orang yang
mengakhirkan hutang puasa sampai lewat Ramadhan ada dua keadaan;
Pertama: jika dia melakukannya karena udzur yang terus menerus,
sehingga tidak mampu melunasi hutang puasa sampai datang Ramadhan
berikutnya, maka tidak ada dosa baginya, dan dia wajib mengganti hutang
puasanya setelah Ramadhan berakhir atau kapan saja selama belum datang
bulan Ramadhan lagi.
Alloh berfirman;
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS.al-Baqoroh: 286).
Kedua: jika dia melakukannya karena lalai dan peremehan tanpa udzur,
maka menurut sebagian ulama cukup baginya mengganti hutang puasanya dan
tidak perlu diiringi dengan memberi makan fakir miskin (fidyah).
Karena Alloh berfirman;
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ [البقرة/184]
Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqoroh: 184).
Dan wajib baginya bertaubat dan memohon ampun kepada Alloh atas kelalaian dan peremehannya tanpa udzur.
Namun sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan Abu Hurairoh berfatwa
bahwa orang yang lalai membayar hutang puasa sampai datang Ramadhan
berikutnya maka dia mengqadha puasanya dan juga memberi makan fakir
miskin. Riwayat ini telah shahih datang dari mereka sebagaimana dalam
sunan ad-Daroquthni 2/197, dan inilah yang difatwakan oleh Syaikh Ibnu
Baz dalam fatwanya. Allohu A’lam.
Syahrul Fatwa
Dipublikasikan kembali oleh www.salafiyunpad.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar