Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Olah : Odi Aswanda di Salaf on Facebook
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau
Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat
tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada
perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat
menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia
mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan
secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat
di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i,
salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala,
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu
menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan tersebut." (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal
sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun
hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.
Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur
dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan
bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus
berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil
dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
"Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa,
idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul
adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha."[HR. Tirmidzi
no. 697] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi
rahimahullah menyatakan, "Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan
mengatakan, "Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah
(yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)". "
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[Majmu’ Al Fatawa,
25/114-115] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat.
Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal
bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal
adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya
semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, "Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan
rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah
sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal
hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya,
diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum
sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri
adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika
ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang
mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka
tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang
yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita
keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal
berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang
banyak."[Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110]
Beliau rahimahullah
mengatakan pula, "Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan
sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut
benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu
jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr
(masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri
dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan).
Allah Ta’ala berfirman,
"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal
(bulan sabit). Katakanlah: "Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji" (QS. Al Baqarah: 189)[Majmu’
Al Fatawa, 25/115-116]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan,
"Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila
benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka.
Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya
tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri
tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama
dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan
wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied
kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa,
mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Puasa kalian ditetapkan
tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala
mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala
mayoritas kalian beridul adha"
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
"Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya
(di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah
atau mendung."
Imam Ahmad juga mengatakan,
"Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin".[Majmu’ Al Fatawa, 25/117]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar