Oleh Abu Khonsa Ar-Rotaniyy di Salaf on facebook
Jumat, 14 Maret 2008 01:04:01 WIB
AL-KHULU’, GUGATAN CERAI DALAM ISLAM
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan
disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul
masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai
dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa,
sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak
segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa
memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini
harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan
demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan
menyeluruh).
PENGERTIAN GUGATAN CERAI
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-Khulu
dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal
dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan
untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya
dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam
banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya
Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang
suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran
diserahkan isteri kepada suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam
berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran
yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang
khusus” [2]
HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci
Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu
mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia
mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut,
sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh
Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7],
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang
syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah
Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang
pensyariatannya. [8]
KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.
[1]. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena
kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan
tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah :
229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini
dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami
menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami.
Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir
tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa
muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa
jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan
ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena
khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra
(Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai)
bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir
berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami
mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak
memilih perceraian. [11]
[2]. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi
dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan
sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan
gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan
kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika
Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil
tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah
agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka
diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]
b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya
baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara
pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang
membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa
alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul
Ghalil, no. 2035] [14]
[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang
isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.
[15]
[4]. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan.
Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal
telah diingatkan
Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan
yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan
menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan
hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun
hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban
bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk
meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan
harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang
memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]
Wallahu a’lam
Maraji’.
[1]. Fathul Bari
[2]. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
[3]. Majmu Fatawa
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa
Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim.
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqhis Sunnah
[6] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun
1423H
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi
Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[3]. Al-Mughni, 7/51
[4]. Majmu Al-Fatawa, 32/282
[5]. Fathul Bari, 9/315
[6]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[8]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[9]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah,
3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.
[10]. Fathul Bari, 9/318
[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
Tidak ada komentar:
Posting Komentar