SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF
Oleh Nov Munandar di Salaf on facebook
Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk
merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis
memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.
Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis
menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami
ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari
perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, meninggalkan
dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap
baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan)
dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”
Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para
syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak
kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.
Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus
disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan
kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap
perkataan yang keluar dari golongan mereka.
Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah
berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang
dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang
mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan
huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula
Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul
Fikri, 1368H, hal 168-169).
Kapan awal munculnya tasawuf
Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan,
yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama
kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai
ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan
jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu
membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan
pahala di akherat.
Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali
memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan
yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap
mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai
orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat
satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka
semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang
belakangan telah berada dalam talbis Iblis.
Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah menghalangi
mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu
adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan,
mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.
Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang
harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun
menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka
menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam
membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak
mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.
Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan
yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minimnya ilmu,
lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia
tidak mengetahuinya.
Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak
Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara
tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang
melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu,
seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada
pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan
ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka
mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat
berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini
semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan
topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat
untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap
menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka
menyebut ilmu syari’at sebagai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang
mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil,
mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan
kebenaran. Mereka membayangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi
teman tidur mereka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.
Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan
sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara
mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul
(penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang
menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa
menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat
sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).
Perintis tasawuf tak diketahui pasti
Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil
Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang
pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i
ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad
sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya
kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam
Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah
mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi.
Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka
dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun
199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian
merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal
sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka
di antaranya beliau mengatakan:
“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni
tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal
selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).
Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa
sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok
yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum
zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwifah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M),
dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad
tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam
lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antaranya ketika
seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa tentang perkataan
Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad
bin Hanbal berkata:
“Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.
Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah
melihat majlis Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para
peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi diri.
Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita
cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan
daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun
nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan,
dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung.
Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw?
Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).
Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi
Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan
perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun sebelum abad
ketiga berakhir, tasawuf telah muncul dalam hakikat yang sebenarnya,
kemudian tersebar luas di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah
berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.
Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga
kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh
tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal
dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan
yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada
yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum,
pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur
Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan penguasa, yakni dia
menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama
yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus
dibunuh.
Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin
Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap
menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.
Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat
Tersebarnya sufisme didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia
mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang
selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme
seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada
pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal bakal thariqat/
tarekat sufiyah, kemudian secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan
Maghrib (Maroko).
Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf,
masing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW,
kemudian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang
tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di
Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa
bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali
(Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.
Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi
Pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah
sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok
khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas
kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathimiyah
(kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke
wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul,
seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan
kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan
maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat.
Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah
Al-Fathimi Al-Abidi.
Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut
berawal dari Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan
Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan
kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebatinan
tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib
(Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.
Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah
muncul berpuluh-puluh thariqat sufiyah, kemudian aqidah dan
syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata
berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.
Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi
Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad
ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid
Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) memerangi seluruh
aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang
diperangi adalah aqidah kaum Sufi.
Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya,
seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H),
Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.
Meskipun mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus
mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas
hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat
Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit
memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah
merealisasikan kemunculan kebangkitan Islam baru.
Da`wah Muhammad bin Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang
mukhlis di seluruh penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap
memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol
tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah
kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah
yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was
Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila
binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad,
I, 1410H, hal 13-17).
dikutip dari buku Tasawuf Belitan Ibliskarya H Hartono Ahmad Jaiz
-www.pakdenono.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar