JIHAD DALAM ISLAM
Oleh Al Fawa'id di Salaf on Facebook
Ibnul Qoyyim Rahimahullah
Jihad merupakan tulang punggung dan kubah Islam. Kedudukan orang-orang
yang berjihad amatlah tinggi di surga, begitu juga di dunia. Mereka
mulia di dunia dan di akhirat. Rasulullah adalah orang yang paling
tinggi derajatnya dalam jihad. Beliau telah berjihad dalam segala bentuk
dan macamnya. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya
jihad, baik dengan hati, dakwah, keterangan (ilmu), pedang dan senjata.
Semua waktu beliau hanya untuk berjihad dengan hati, lisan dan tangan
beliau. Oleh karena itulah, beliau amat harum namanya (di sisi
manusia-pent) dan paling mulia di sisi Allah.
Allah memerintahkan beliau untuk berjihad semenjak beliau diutus sebagai Nabi, Allah berfirman
“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada
tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah
kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqon : 51-52]
Surat ini termasuk surat Makiyah yang didalamnya terdapat perintah untuk
berjihad melawan orang-orang kafir dengan hujjah dan keterangan serta
menyampaikan Al-Qur’an. Demikian juga, jihad melawan orang-orang munafik
dengan menyampaikan hujjah karena mereka sudah ada dibawah kekuasaan
kaum muslimin, Allah ta’ala berfirman :
“Artinya : Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam.
Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” [At-Taubah : 73]
Jihad melawan orang-orang munafik (dengan hujjah-pent) lebih sulit
daripada jihad melawan orang-orang kafir (dengan pedang-pent), karena
(jihad dengan hujjah-pent) hanya bisa dilakukan orang-orang khusus saja
yaitu para pewaris nabi (ulama). Yang bisa melaksanakannya dan yang
membantu mereka adalah sekelompok kecil dari manusia. Meskipun demikian,
mereka adalah orang-orang termulia di sisi Allah.[2]
Termasuk
semulia-mulianya jihad adalah mengatakan kebenaran meski banyak orang
yang menentang dengan keras seperti menyampaikan kebenaran kepada orang
yang dikhawatirkan gangguannya. Oleh karena inilah, para Rasul
-sholawatullahi ‘alaihim wa salaamuhu- termasuk yang paling sempurna
Jihad melawan musuh-musuh Allah diluar (kaum muslimin) termasuk cabang
dari jihadnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri (hawa nafsu) di
dalam ketaatan kepada Allah, sebagaimana yang disabdakan Nabi :
“Artinya : Mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya dalam
mentaati Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari apa yang
dilarang Allah” [Hadits Riwayat Ahmad dan sanadnya jayyid/baik]
Oleh sebab itu, jihad terhadap diri sendiri lebih didahulukan daripada
jihad melawan orang-orang kafir dan hal tersebut merupakan pondasinya.
Seorang hamba jika tidak berjihad terhadap dirinya sendiri dalam
mentaati perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang dengan ikhlas
karena-Nya, maka bagaimana mungkin dia bisa berjihad melawan
orang-orang kafir[3].
Bagaimana dia bisa melawan orang-orang
kafir sedangkan musuh (hawa nafsu) nya yang berada disamping kiri dan
kanannya masih menguasainya dan dia belum berjihad melawannya karena
Allah. Tidak akan mungkin dia keluar berjihad melawan musuh (orang-orang
kafir) sehingga dia mampu berjihad melawan hawa nafsunya untuk keluar
berjihad.[4]
Kedua musuh itu adalah sasaran jihad seorang
hamba. Tapi masih ada yang ketiga, yang dia tidak mungkin berjihad
melawan keduanya kecuali setelah mengalahkan yang ketiga ini. Dia (musuh
yang ketiga ini) selalu menghadang, menipu dan menggoda hamba agar
tidak berjihad melawan hawa nafsunya.
Dia senantiasa
mengambarkan kepada seorang hamba bahwa berjihad melawan hawa nafsu
amatlah berat dan harus meninggalkan kelezatan dan kenikmatan (dunia).
Tidak mungkin dia berjihad melawan kedua musuhnya tadi kecuali terlebih
dahulu berjihad melawannya. Oleh karenanya, jihad melawannya adalah
pondasi dalam berjihad melawan keduanya. Musuh yang ketiga itu adalah
setan, Allah ta’ala berfirman :
“Artinya : Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu)” [Faathir : 6]
Perintah untuk menjadikan setan sebagai musuh merupakan peringatan agar
(seorang hamba) mengerahkan segala kekuatan dalam memeranginya, karena
musuh tersebut tidak pernah lelah dan lemah untuk menyesatkan manusia
sepanjang masa.
(Kemudian beliau berkata -pent) Jika hal diatas sudah dimengerti maka jihad terbagi menjadi empat tahapan [5]:
[1]. Jihad melawan diri sendiri (hawa nafsu), dan hal ini terbagi lagi menjadi empat tingkatan
• a. Berjihad dalam menuntut ilmu agama yang tidak akan ada kebahagiaan
di dunia dan di akhirat kecuali dengannya. Barangsiapa yang ketinggalan
ilmu agama maka dia akan sengsara di dunia dan di akhirat.
•
b. Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang dia pelajari, karena ilmu tanpa
amal jika tidak memadharatkannya, minimal ilmunya tidak bermanfaat.
• c. Berjihad dalam dakwah (menyeru manusia) kepada ilmu tersebut dan
mengajarkannya kepada yang tidak tahu. Jika tidak, maka dia termasuk
orang yang menyembunyikan ilmu yang telah diturunkan Allah dan tidak
akan bermanfaat ilmunya serta dia tidak akan selamat dari adzab Allah.
• d. Berjihad dalam bersabar menghadapi rintangan di jalan dakwah serta gangguan manusia karena Allah.
Jika seorang hamba telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, maka dia
tergolong Robbaaniyyiin (orang-orang Robbani). Para salaf dahulu telah
sepakat bahwa seorang alim tidak bisa dikatakan Robbani hingga dia tahu
kebenaran, lalu mengamalkan dan mengajarkannya. Barangsiapa yang
mengetahui (kebenaran) lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya, maka dia
akan tersanjung dikalangan para penghuni langit.
[2]. Jihad melawan setan, dan hal ini terbagi menjadi 2 bagian :
• a. Berjihad dalam menolak syubhat (kerancuan) dan keraguan dalam keimanan
• b. Berjihad dalam menolak bisikan syahwat Jihad yang pertama akan
melahirkan keyakinan dan jihad yang kedua akan menghasilkan kesabaran
Allah ta’ala berfirman : “Artinya : Dan Kami jadikan di antara mereka
itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah :
24]
Allah ta’ala mengkabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama
dapat diperoleh hanya dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran dapat
menolak nafsu syahwat serta keinginan jelek sedangkan keyakinan bisa
menolak keraguan serta kerancuan.
[3]. Jihad melawan
orang-orang kafir dan munafik. Hal ini meliputi empat hal : jihad dengan
hati, lisan, harta dan jiwa raga. Berjihad melawan orang-orang kafir
lebih dikhususkan dengan tangan dan berjihad melawan orang-orang munafik
lebih dikhususkan dengan lisan.
[4]. Jihad melawan orang-orang
dzolim, ahli bid’ah, dan pembuat kemungkaran. Hal ini memiliki tiga
tahapan. Dengan tangan bila mampu, jika tidak maka pindah dengan lisan
dan jika tidak mampu juga maka dengan hati.
Inilah tiga belas
tahapan dalam jihad dan (Barangsiapa yang mati dan tidak berjihad serta
tidak pernah membisikkan dalam dirinya untuk berjihad maka dia mati
dalam cabang kemunafikan) [6]
Dan tidak akan sempurna jihad melainkan dengan hijrah dan tidak ada hijrah serta jihad tanpa keimanan [7].
Orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang-orang yang menjalankan ketiga hal tersebut, Allah ta’ala berfirman
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqoroh : 218]
Sebagaimana keimanan adalah kewajiban bagi setiap orang, maka diwajibkan pula kepada mereka dua hijrah di setiap saat :
[1]. Berhijrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, ikhlas, bertobat, tawakkal, mengharap, dan cinta kepada-Nya.
[2]. Berhijrah kepada Rasul-Nya dengan mengikuti sunnah beliau, tunduk
kepada perintah beliau, membenarkan kabar yang beliau sampaikan serta
mendahulukan perintah beliau daripada perintah yang lainnya. Nabi
bersabda yang artinya :
“Artinya : Barangsiapa yang berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang berhijrah kepada dunia atau perempuan yang hendak
dinikahinya maka hijrohnya kepada apa yang dia niatkan”.[8]
Perintah untuk jihad melawan hawa nafsu dalam mentaati Allah dan jihad
melawan setan adalah fardhu ain yang tidak bisa diwakilkan kepada
seorangpun. Adapun jihad melawan orang-orang kafir dan munafik adalah
fardhu kifayah.
[Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khoiril Ibaad 3/5 – 11, Ibnul Qoyyim Rahimahullah]
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakirah Al-Islamiyyah Edisi 17
ThIV/Dzulqa’dah 1426H/Desember 2005M. Penerjemah Abu Abdirrahman bin
Thayyib As-Salafy Lc, Diterbitkan Oleh Ma’had Ali-Al-Irsyad Surabaya, Jl
Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
________
Foot Note
[1]. Kami terjemahkan dari kitab “Zaadul ma aad fii hadyi khoiril ibaad”
3/5-11 oleh Ibnul Qoyyim, tapi ada sebagian yang kami anggap tidak
perlu diterjemahkan (hal 6-8) agar tidak terlalu panjang. Dan kami
hadiahkan terjemahan ini kepada mereka yang selalu meneriakkan kata
jihad dengan senjata (pengeboman), yang senantiasa mengajak umat untuk
memberontak penguasa dengan nama jihad, yang menuduh para ulama Dakwah
Salafiyah tidak berjihad dan menihilkan jihad.
Insya Allah pada
edisi berikutnya kita akan membahas tentang kaidah-kaidah dalam
berjihad agar jihadnya seorang muslim didasari oleh ilmu bukan hawa
nafsu maupun kejahilan yang diiringi semangat yang terlalu menggebu
hingga lebih banyak merusak daripada membangun, seperti yang dikatakan
oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz “Barangsiapa yang beribadah kepada
Allah tanpa ilmu maka dia banyak merusak daripada memperbaiki” (pent)
[2]. Dari keterangan Ibnul Qoyyim v ini, masihkah ada orang yang
mencela dan mencaci maki para ulama, karena mereka belum pernah
mengangkat pedang dan hanya bisa mengajarkan Al-Qur’an dan sunnah di
masjid-masjid ??? Ataukah justru mereka akan menvonis bahwa Ibnul Qoyyim
menihilkan jihad ? (pent)
[3]. Diantaranya dengan berjihad
menuntut ilmu agama yang benar sesuai dengan pemahaman salafush sholeh
serta menghilangkan kebodohan dalam dirinya terutama dalam masalah
aqidah. (pent)
[4]. Adapun hadits yang berbunyi “Kita telah
kembali dari jihad kecil kepada jihad besar” maka hadits ini tidak
shohih. Lihat “Kasyful khofa “1/424. (pent)
[5]. Dari sini
terlihat jelas kesalahan sebagian orang yang hanya menyempitkan arti
jihad dengan jihad melawan orang-orang kafir dengan senjata. (pent)
[6].Hadits Riwayat .Muslim (1910).
[7]. Tidakkah mereka yang selalu mengembar-ngemborkan jihad melawan
orang-orang kafir Yahudi maupun Nashoro memahami hal ini ? Mereka
menyeru umat untuk berjihad siang dan malam sedangkan banyak dari umat
Islam ini yang masih rusak aqidah dan keimanannya. Akankah mereka terus
meneriakkan jihad di tengah kaum muslimin sedangkan kesyirikan,
penyembahan terhadap wali-wali, sunan-sunan serta kyai-kyai yang telah
meninggal di pelupuk mata mereka ?
Apakah mereka sengaja
menutup mata ? Mengapa mereka tidak mau dan enggan untuk memulai dan
menfokuskan dakwah mereka terlebih dahulu kepada dakwah Tauhid dan
memberantas kesyirikan seperti yang dilakukan Rasulullah ? Apakah mereka
menganggap metode yang mereka jalankan lebih baik dari metode dakwahnya
Rasul dan para rasul-rasul lainnya ? (pent)
[8]. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar