«« MENGAPA ENGKAU MELALAIKANNYA DALAM SHALAT? »»
Oleh : Nhawadaa Chan di Salaf on Facebook
dari www.perpustakaan-islam.com
Sebagian muslimin meremehkan pakaian ketika melaksanakan shalat, apakah
dengan bahan yang diharamkan seperti sutra bagi laki-laki, adanya
gambar makhluk bernyawa atau hal lainnya. Berikut pembahasan ringkas
mengenai hal tersebut dan hal-hal lain yang berkaian dengannya
Beberapa Perkara yang Perlu Diperhatikan Saat Hendak Shalat
Shalat dengan pakaian yang diharamkan
Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi
diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian
itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.
Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya.
Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas yang diharamkan
bagi laki-laki untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk
hidup (manusia dan hewan).
Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.
Shalat mengenakan pakaian yang diharamkan tersebut hukumnya haram.
Lantas, apakah shalat yang dikerjakan sah ataukah batal ? Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Namun pendapat mayoritas
ahlul ilmi adalah shalatnya sah, tidak batal. Pelakunya dianggap telah
berbuat maksiat karena melakukan perkara yang diharamkan, yakni memakai
pakaian yang diharamkan. Ketika syariat melarang mengenakan sebuah
pakaian secara mutlak pada saat menunaikan shalat ataupun di luar
shalat, maka ini tidaklah mengandung konsekuensi batalnya shalat yang
dikerjakan dengan memakai pakaian tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/
448).
Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar
Ummul mukminin Aisyah mengabarkan:
“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar.
Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari
shalatnya, beliau bersabda,
“Bawalah khamishahku ini kepada
Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena
khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah
berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang
shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar
ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no.
1239)
Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap
Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush
Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan
pakaian bergambar.
Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar
yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau. Maksudnya,
hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap
shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan
bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang
dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya,
belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar
mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak
disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat
karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun
shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits
ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan
shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau
hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang
sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash
Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala
Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)
Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata,
“Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat
(melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat)
serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana
beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk
mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak
menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash
Shalah)
Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini
menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang
yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga
mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan
khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa
pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat
tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat
di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan
shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda:
“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus
terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374)
Shalat Membawa Gambar
Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya
terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada
pas fotonya, apakah shalatnya sah ?
Samahatusy Syaikh Abdul
Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang
dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam
keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun
gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya,
tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam
rumah, namun wajib dimusnahkan.
Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:
“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau
haus dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan
kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)
Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417)
Shalat di Tempat yang Ada Gambar
Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti
gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang
digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut
menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat.
Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka
itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah, 10/418)
Shalat Beralaskan Tikar
Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain,
atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang
yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang
tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat,
mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus
memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang
dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu
tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena
bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke
gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa
Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)
Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut:
Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah
mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau
pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan.
Selesainya, beliau bersabda ,
“Bangkitlah, aku akan shalat
mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar
kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air
untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak
yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di
belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian
beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497)
Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan:
“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang
shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim
no. 1503)
Aisyah berkata:
“Adalah Rasulullah shalat
beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh
Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah)
Ibnu Baththal berkata,
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri
tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang
diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah
lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah
tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini
karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk.
Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan
pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).
Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci
(memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci
shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah.
Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan
haram).” (Fathul Bari, 1/633)
Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam.
Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata,
‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan
benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’,
3/169)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat
di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu.
Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh
bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu
Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)
Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini,
karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis
dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah
shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab,
“Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa
syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi.
Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah
tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan
keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan
dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny.
Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada
di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin
tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan
oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa
ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau
bersabda:
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.”
Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula
(dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan
mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah
cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita
tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka
dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut
persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan
tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum
asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian
mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’
Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)
Shalat Memakai Sandal
Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai
sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai
kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia
mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia
berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi.
Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108,
“Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”)
Didapatkan pula adanya penekanan beliau agar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits:
“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan
sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan
oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish
Shahihain, hadits no. 471, 1/399)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata,
“Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal
karena Rasulullah memerintahkannya dengan alasan untuk menyelisihi
Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir
hukumnya wajib.
Karena hukum asal dari perintah adalah wajib,
kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di
sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah
disebutkan sebelumnya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…”
Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan
(antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah
meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109,
110)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata,
”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.”
Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena
ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini.
Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam
keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya.
Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai
melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin
menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan
membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang
menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi.
Wallahul musta’an.
Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama
yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham,
dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua
yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa
pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar